Berita

Pilkada Serentak 2017, Proses Pembelajaran Bagi Demokrasi Indonesia

Pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak, kembali diselenggarakan secara serentak pada bulan Februari2017 ini. Penyelenggaraan tersebut menjadi penyelenggaraan kedua pilkada secara serentak di 101 daerah (Provinsi, Kabupaten/ Kota) di seluruh Indonesia setelah juga diadakan Pilkada serentak pada 2015. Walau secara umum Pilkada serentak relatif aman dan tidak ada kerusuhan, namun ada banyak cerita yang membuka wawasan demokrasi rakyat Indonesia.

Hal ini dinyatakan oleh Akademisi dan Pemerhati Politik UMY, Tunjung Sulaksono, S.IP.,M.Si pada diskusi bertajuk “Angkringan Pilkada: Pilkada dan Rasionalitas Pemilih” di Lantai Dasar Gedung Pascasarjana UMY pada Rabu malam (22/2). Menurut Tunjung, salah satu cerita yang ada di Pilkada 2017 yaitu soal Kotak kosong yang menjadi lawan Paslon yang bertanding. “Bagi orang yang belajar demokrasi, hal ini membuka pertanyaan seputar pilkada. Soal kotak kosong, apakah ini kegagalan pendidikan politik yang dilakukan oleh parpol, atau parpol kesulitan dalam melahirkan sosok calon pemimpin yang berkualitas,”jelasnya.

Dalam Pilkada serentak 2017, Tunjung juga melihat adanya sentimen anti-partai yang melanda masyarakat Indonesia yang cenderung reaktif. Namun menurut Tunjung, tidak masalah adanya sentimen anti-partai sejauh parpol menjadikan hal tersebut sebagai momen untuk memperbaiki diri. “Partai menjadi kendaraan paling ideal untuk memperoleh jabatan publik, namun di satu sisi ada ketidakpercayaan publik pada partai. Terbukti partisipasi masyarakat dalam pilkada ini meningkat prosentasenya. Hal ini seharusnya menjadi momen bagi parpol untuk memperbaiki proses yang ada dalam internal sehingga diharapkan memunculkan sosok calon yang berkualitas. Ada banyak cara yang ditempuh partai untuk menuju ke sana,”tuturnya.

Lebih jauh, Tunjung menyatakan ajang Pilkada serentak 2017 juga menjadi pendidikan politik bagi masyarakat untuk menerima yang menang dan yang kalah. “Mungkin di beberapa daerah terdapat paslon yang menang tipis dan calon lainnya mengajukan protes. Namun bagaimana pun demokrasi mensyaratkan adanya kompetisi, jadi masyarakat harus menerima konsep menang-kalah,”lanjutnya.

Sementara itu, Sosiolog UMY Dr. Zuly Qodir melihat dalam kacamata sosiologi ajang pilkada serentak ini menyebabkan hiruk pikuk yang menyita perhatian publik, terutama di media sosial. “Hiruk pikuk Pilkada di media sosial, contohnya Pilkada Jakarta yang ramai diperbincangkan di Twitter dan Facebook. Masyarakat di luar Jakarta juga ikut mengomentari pilkada Jakarta, padahal mereka sendiri tidak punya hak pilih. Jadi masyarakat kita hanya ikut euforianya saja,”tandasnya.

Zuly juga menyoroti money politic yang kerap terjadi pada penyelenggaraan pemilu. Begitu pula dengan penyelenggaran Pilkada serentak 2017 ini. “Money politic terjadi seperti orang buang kentut, kita membaui bersama tapi kita nggak bisa menunjuk siapa yang buang kentut. Money politic akan tetap ada di setiap penyelenggaraan pemilu bahkan akan semakin canggih modusnya. Ada yang ditukar pakai voucher, ada yang langsung pakai amplop, macam-macam,”pungkasnya sambil tertawa. (bagas)

Share This Post

Berita Terkini